Nama : Jullia Van Gobel
NPM : 20109496
Kelas : 3KB01
Hafalan Shalat Delisa
Delisa, gadis kecil berusia 6 tahun,anak bungsu dari Ummi Salamah dan Abi Usman. Kakak-kakak delisa bernama Cut Fatimah berusia 16 tahun, siswi kelas 1 di Madrasah Aliyah, Cut Aisyah dan Cut Zahra. Cut Aisyah dan Cut Zahra merupakan saudara kembar, mereka duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Lhok Nga. Meskipun mereka berdua saudara kembar, tapi mereka mempunyai sifat yang jauh berbeda. Keluarga Abi Usman tinggal di Banda Aceh, tepatnya di Lhok Nga. Abi, panggilan untuk ayahnya bekerja di tanker perusahaan minyak Internasional. Berkeliling dari satu benua ke benua yang lain, membawa ribuan meter kubik minyak mentah. Hanya setiap 3 bulan sekali Abi bisa pulang ke rumahnya dan berkumpul dengan keluarganya. Sedangkan Ummi, panggilan untuk Ibu mereka, tinggal bersama anak-anaknya di komplek perumahan sederhana yang dekat sekali dengan tubir pantai Lhok Nga.
Suatu hari, Delisa mendapat tugas dari Ibu Guru Nur (guru Delisa di Sekolah), yakni menghafal bacaan-bacaan shalat yang akan di praktekkan di depan Ibu Nur tepatnya pada tanggal 24 Des 2004. Sebagai motivasi agar delisa bisa menghafal bacaan-bacaan shalat tersebut, Ummi membelikan Delisa sebuah Kalung emas seberat 2 gram berliontin D untuk Delisa yang di beli oleh Ummi di Toko Kok Acan (Pemilik Toko Emas Langganan Keluarga Abi Usman). Delisa sangat seneng, tak sabar ingin mengenakan kalung tersebut.
Pagi yang cerah tepatnya tanggal 26 Des 2004, Delisa mempraktekan hafalan shalatnya di depan kelas. Tiba-tiba ketika Delisa usai ber-takbiratul-ihram, dasar bumi terban, lantai laut retak seketika, tanah bergetar dahsyat, menjalar menggetarkan dunia ratus ribuan kilometer. Bumi bagaikan di goyang tangan raksasa, air laut seketika bagai mendidih, tersedot ke dalam rekahan maha luas. Gempa berkekuatan 8,9 SR itu membuat air laut teraduk, Tsunami menyusul menyapu daratan, menjadi tangan malaikat pencabut nyawa. Tapi delisa tetap khusu’,terus melafadzkan hafalan shalatnya. Namun, terjangan air laut yang sangat kuat menghayutkan semua yang ada, Delisa roboh dan hanyut terbawa air laut.
Peristiwa itu menewaskan sekitar 3.000 orang yang ada di Banda Aceh, Sumatera Utara dan sekitarnya. Termasuk Ummi Delisa, dan ketiga kakaknya, serta Ibu Guru Nur juga tewas dalam peristiwa itu, untung saja Delisa bisa selamat, karena Ibu Guru Nur sempat mengikat tubuh Delisa di atas papan seerat dengan menggunakan kerudung milik Ibu Nur yang robek. Selama 6 hari Delisa pingsan tak sadarkan diri, dalam pingsannya dia bermimpi bertemu dengan Ummi,Kak Fatimah,Kak Aisyah dan Kak Zahra,yang pergi meninggalkan Delisa tanpa mengajaknya pergi bersama mereka. Sampai akhirnya Delisa sadar,tapi Delisa tidak bisa bergerak, kaki kanannya terjepit di sela-sela dahan semak, tubuh mungilnya terjembab di atas semak-belukar. Siku kanan Delisa juga patah. Delisa menggantung terbaring tidak berdaya.
Beberapa hari kemudian, Delisa akhirnya di temukan oleh Prajurit Smith yang kemudian menjadi mu’alaf dan berganti nama menjadi Prajurit Salam. Pancaran cahaya Delisa telah mampu memberikan hidayah pada Prajurit Smith untuk pindah ke Agama Islam. Kemudian Delisa di rawat oleh Suster Shopi dan Kak Ubai, meraka adalah sekarelawan yang berada di atas kapal Angkatan Laut Amerika, mereka menyayangi Delisa. Dalam perawatannya, Delisa tidak sadarkan diri, keadaannya tidak kunjung membaik. Sampai ketika seorang ibu yang dirawat di sebelah Delisa melakukan shalat tahajud, pada bacaan sholat dimana hari itu hafalan sholat Delisa terputus, Delisa pun sadar,namun kaki delisa harus di amputasi, Delisa pun menerima semua kenyataan ini tanpa mengeluh sedikit pun, luka jahitan dan lebam di sekujur tubuhnya tidak membuatnya putus asa, bahkan kondisi itu pun membawa Delisa bertemu dengan Abinya.Abi Delisa pulang dari Kanada untuk melihat keadaan keluarganya setelah mendengar kabar tsunami di Aceh santer seantore di dunia. Abi sangat sedih melihat keadaan Lhok Nga yang sudah datar, tinggal puing-puing. Kabar telah di kuburkannya Fatimah,Aisyah dan Zahra membuat Abi semakin sedih. Mendengar Delisa masih hidup, Abi merasa masih ada harapan, kesedihan Abi berkurang, meskipun belum ada kabar tentang Ummi.
Setelah bertemu dengan Abi, Delisa pun menceritakan semuanya dengan tenang. Tidak terlihat sebuah penyesalan dan pembangkangan, dari kakinya yang sudah di amputasi, tangannya yang patah, kepalanya yang botak karena luka, dan giginya yang tinggal dua. Abi tidak menyangka Delisa lebih kuat menerima semuanya, menerima takdir yang telah di gariskan oleh ALLAH.
Beberapa bulan pasca tsunami, Delisa sudah bisa menerima keadaan yang sangat pahit itu, dia memulai kembali kehidupan dari awal bersama Abinya. Hidup di posko-posko yang di dirikan sukarelawan local maupun sukarelawan asing. Hidup dengan orang-orang yang senasib, mereka korban tsunami yang kehilangan keluarga, sahabat, teman dan orang-orang terdekat. Waktu pun berlalu, Delisa mulai masuk sekolah kembali. Sekolah yang di buka oleh tenaga sukarelawan. Dan tugas yang di anggap berat berikutnya bagi Delisa adalah mengembalikan hafalan shalatnya. Hafalan shalatnya hilang begitu saja, namun becana yang melanda Aceh tersebut membuat Delisa lebih dewasa, lebih memahami makna ikhlas. Ikhlas untuk menerima keadaan, dan yang terpenting ikhlas untuk menghafal bacaan shalatnya. Delisa sadar bahwa selama ini dia berusaha menghafal bacaan shalat bukan karena ALLAH, Delisa tidak tulus, tapi semata-mata hanya karena ingin mendapatkan sebatang coklat, sebuah kalung berliontin D untuk Delisa, dan untuk mendapatkan sepeda.
Ketika Delisa sedang tidur, dia bermimpi bertemu dengan Umminya, yang menunjukan kalung milik Delisa itu dan meminta Delisa untuk menyelesaikan kembali hafalan bacaan shalatnya yang sempat hilang dari ingatannya. Mimpi tersebut ternyata memberi kekuatan kepada Delisa yang membawa dia pada kemudahan untuk menghafal kembali bacaan shalat tersebut. Akhirnya Delisa mampu melakukan Shalat Asharnya dengan sempurna untuk pertama kalinya, tanpa ada yang telupa dan terbalik dari bacaan shalatnya karena ALLAH.
Sore itu, Sabtu, 21 Mei 2005, setelah shalat Ashar, ketika Delisa sedang mencuci tangan di tepi sungai, Delisa melihat pantulan cahaya matahari senja dari sebuah benda yang terjuntai di semak belukar, berada di seberangan sungai. Mendadak hati Delisa gentar. Delisa berkata “ Ya ALLAH, bukankah itu seuntai kalung?” , ternyata Delisa benar, benda itu adalah sebuah kalung yanh indah, kalung yang berliontin huruf D untuk Delisa. Delisa yakin, kalung itu adalah kalung yang dibelinya di toko Koh Acan bersama Umi, kalung untuk hadiah hafalan shalatnya.
Yang membuat Delisa bertambah terkejut, kalung itu ternyata bukan tersangkut di dedahanan, tidak juga tersangkut di dedaunan. Tetapi kalung itu tersangkut di tangan, tangan yang sudah menjadi kerangka, sempurna kerangka manusia, putih tulang-belulang, utuh bersandarkan semak belukar tersebut. Tangan itu adalah jasad tangan Ummi yang sudah 3 bulan lebih menggenggam kalung emas seberat 2 gram berliontin huruf D, D untuk Delisa. Delisa pun mendesis lemah, detik berikutnya ia jatuh terjembab ke dalam sejuknya air sungai. Delisa buncah oleh sejuta persaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar